Senin, 16 Januari 2017



KAWASAN DESIGN TEKNOLOGI PENDIDIKAN DAN PENERAPANNYA PADA PAI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Teknologi Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Nisrokha, S.Pd.I.,M.Pd


Kelompok 1:
1.     Uswatun Khasanah                 (3130035)
2.     Sundari Yulianingsih               (3130010)
3.     Baharudin Yusuf Maulana      (3130043)



Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Pemalang
Tahun Ajaran 2015/2016


BAB I
PENDAHULUAN

Kasawan desain mempunyai asal-usul dari gerakan psikologi pembelajaran. Beberapa faktor pemicunya adalah 1) Artikel tahun 1954 dari B.F. Skinner “The Science of Learning and theArt of Teachig” disertai teorinya tentang pembelajaran berprogram : 2) buku tahun 1969 dari Herbert Simon “The Science of Artificial” yag membahas karakteristik umum dari pengetahuan perskriptif tentang desain: dab 3) pendirian pusat-pusat desain bahan pembelajaran dan terprogram, sepert : “Learning Resauce and Development Center” dalam kurun waktu tahun 1960;an dan Rebert, direktur dari pusat tersebut, mnulis dan membicarakan tentang desain pembelajaran sebagai inti dari teknologi pendidikan (Glaser 1976). Banyak landasan psikologi pembelajaran dari kawasan desain berkembang dari asosiasi dengan pittsburgh ini. Hal ini bukan hanya karena pittsburgh, tetapi juga karena makalah skinner yang berpengaruh tersebut di atas dipresentasikan pertama kali di pittsburgh sebelum kemudian dipublikasikan pada tahun tersebut (Spencer 1988).
Melengkasi dari psikologi pembelajaran tersebut ialah pengaplokasian teori sistem dalam pembelajaran. Melalui Jim Finn and Loenard Silvern. Pendekatan sistem pembelajaran secara bertahap mulai berkembang menjadi suatu metodologi dan mulai memasukkan gagasan dari psikologi pembelajaran. Pendekatan sitem telah memicu timbulnya gerakan desain sistem pembelajaran seperti yang dicontohkan dalam penggunaan proses pengembngan pembelajaran di pendidikan tinggitahun 1970’an (Gustafson dan Dratton 1984). Perhatian terhadap desain pesan juga berkembang selama akhir tahun 1960’an pada awal tahun 1970’an Kolaborasi antara Rebort Gagne dan Leskie Briggs pada American Institutes for Research di tahun 1960’an (juga di pittsburgh) dan di Frifrida State University dalam tahun 1970’an telah menggabungkan keahlian psikologi pengembangan dengan bakat dalam desain sistem. Secara bersama meraka telah membuat konsep desain pembelajaran menjadi hidup (Briggs 1968, Brigg 1977, Briggss, Campeau, Gegne dan May 1967, Gagne 1965, Gagne 1989, Gagne dan Briggs 1974).
Kawasan desain pembelajaran kadang-kadang dikaburkan dengan pengembangan, atau bahkan dengan konsep yang lebih luas dari pebelajaran itu sendiri. Akan tetapi definisi ini membatasi desain pada fungsi perencanaan, baik pada tingkat micro maupun pada tingkat macro. Sebagai konsekuensinya, dasar pengetahuan kawasan tersebut menjadi rumit serta memerlukan sederetan model-model prosedural, model konseptual, dan teori. Walaupun demikian landasan pengetahuan dari bidang apapun tidaklah bersifat statik. Demikian pula halnya dengan desain pembelajaran sekalipun berlandasan pada kerangka pengetahuan tradisional yang kokoh. Lebih-lebih  karena hubungannya yang erat antara desain pembelajaran dan kawasan lain dari teknologi pembelajaran, landasan pengetahuan desain juga berubah untuk menjaga konsistensi dengan kawasan pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian.
Teori desain jauh lebih maju dibandingkan dengan bidang lain yang mempunyai hubungan erat dengan tradisi praktek dalam membangun landasan pengetahuan. Namun dalam hal pengetahuan teknologi, penelitian dan teori dasain hampir selalu mengikuti eksplorasi kaum praktisi mengenai kemuskilan dan kemampuan perangkat keras atau perangkat lunak yang baru. Terutama pada masa sekarang ini. Tantangan untuk para akademisi dan para praktisi keduanya sama, yaitu melanjutkan untuk merumuskan dasar pengetahuan disamping menanggapi tekanan dari tempat kerja.[1]
Pada makalah ini akan di jelaskan mengenai kawasan desain teknologi pendidikan dan penerapannya yang mencakup desain system pembelajaran, desain pesan, desain strategi instruksional dan karakteristik pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Kawasan Desain Teknologi Pendidikan
Desain adalah proses untuk menentukan kondisi belajar. Tujuan desain ini ialah untuk menciptakan strategi dan produk pada tingkat macro, seperti program dan kurikulum, dan pada tingkat micro, seperti pada pelajaran dan modul. Definisi ini sesuai dengan defisini dasain sekarang yang mengacu pada penentuan spesifikasi (Ellington dan Harris 1986, Reigeluth 1983, Richey 1986). Berbeda dengan defisini terdahulu definisi inilebih menekankan pada kondisi belajar bukannya pada komponen-komponen dalam suatu sistem pembelajaran (Wellington, et.al,1970). Jadi ruang lingkup desain pembelajaran telah diperluas dari sumber belajar atau komponen individual sistem ke pertimbangan maupun faktor-faktor, pertanyaan-pertannyaan serta alat-alat yang digunakan untuk mendesain lingkungan.[2]
Teknologi adalah penerapan secara sistemik dan sistematik konsep-konsep ilmu perilaku dan ilmu yang bersifat fisik serta pengetahuan lain untuk keperluan pemecahan masalah.
Teknologi pembelajaran adalah penerapan secara sistemik dan sistematik strategi dan teknik yang di ambil dari konsep ilmu perilaku dan ilmu yang bersifat fisik serta pengetahuan lain untuk keperluan pemecahan masalah pembelajaran.
Teknologi pendidikan merupakan penggabungan antara teknologi pembelajaran , teknologi belajar, teknologi perkembangan, teknologi pengelolaan dan teknologi lain seperti yang diterapkan untuk keperluan pemecahan masalah pendidikan.
Mengacu pada kategori yang dibuat AECT, definisi diatas mungkin baru menggambarkan teknologi pendidikan sebagai suatu kontruksi teoritis, yaitu suatu abstraksi yang mencakup serangkaian ide dan prinsip tentang bagaimana pendidikan dan pembelajaran harus dilaksanakan dengan menggunakan teknologi.[3]  
Dapat dikatakan bahwa desain teknologi pendidikan merupakan proses untuk menentukan kondisi belajar dengan menggunakan teknologi yang diterapkan dalam memecahkan masalah pendidikan atau pembelajaran.
B.   Kawasan Desain Teknologi Pendidikan
Kawasan desain paling tidak meliputi empat cakupan utama dari teori dan praktek. Cakupan ini dapat didentifikasi karena masuk dalam lingkup pengembangan penelitian dan teori. Kawasan desain meliputi studi mengenai desain sistem pembelajaran, desain pesan, strategi pembelajaran dan karakteristik pelajaran. Definis dan deskripsi dari masing-masing daerah liputan tersebut adalah sebagai berikut.[4].
1.  Desain sistem pembelajaran.  
Desain sistem pembelajaran (DSI) adalah prosedur yang terorganisasi yang meliputi langkah-langkah penganalisisan, perancangan, pengembangan, pengaplikasian dan pnilaian pembelajaran. Kata desain mempunyai pengertian tingkat macro maupun micro karena merujuk pada pendekatan sistem maupun langkah-langkah dalam pendekatan sistem. Setiap langkah dalam proses mempunyai landasan teori dan praktek sendiri seperti halnya pada semua proses DSI. Dalam istilah yang sederhana, penganalisisan adalah proses perumusan apayang akan dipelajari, perencanaan adalah proses penjabaran bagaimana caranya hal tersebut akan dipelajari, pengembangan adalah proses penulisan dan pembuatan atau produksi bahan-bahan pembelajaran, pelaksanaan adalah pemanfataan bahan dan strategi yang bersangkutan, dan penilaian adalah proses penentuan ketepatan pembelajaran. DSI biasanya merupakan suatu proedur linier dan interaktif yang menuntut kecermatan dan kemantapan. Karakteristik dari proses ini yaitu bahwa semua langkah harus tuntas agar dapat berfungsi sebagai alat untuk saling mengontrol. Dalam DSI, proses sama pentingnya dengan produk sebab kepercayaan atas produk berlandaskan pada proses.
2.    Desain Pesan
Pesan adalah informasi yang akan disampaikan oleh komponen lain, dapat berupa ide, fakta, makna dan data. Pandangan lain dikemukakan bahwa message atau pesan pada dasarnya adalah hasil output dan encording. Atau dengan kata lain pesan bentuknya bias berupa kalimat pembicaraan lisan, tulisan, gambar, peta, ataupun tanda/impulse/sinyal dan sebagainya. [5]
Desain pesan meliputi “ perencanaan untuk merkayasa bentuk fisik dari pesan” (Grabowski 1991 : 206). Hal tersebut mencakup prinsip-prinsip perhatian, persepsi dan daya serap yang mengatur penjabaran bentuk fisik dari pesan agar terjadi komunikasi antara pengirim dan penerima. Fleming and Levie (1993) membatasi pesan pada pola-pola isyarat atau symbol yang memodifikasi perilaku kognitif, afektif dan psikomotor. Desain pesan berurusan dengan tingkat paling mikro melalui unit-unit kecil seperti bahan visual, urutan, halaman dan layar secara terpisah. Karakteristik lain dari desain pesan ini adalah bahwa desain harus bersifat spesifik baik terhadap medianya maupun tugas belajarnya. Hal ini mengandung arti bahwa prinsip-prinsip desain pesan akan berbeda tergantung pada apakah medianya bersifat statis, dinamis atau kombinasi dari keduanya (misalanya, suatu potret, film, atau grafik computer). Juga apakah tugas tersebut meliputi pembentukan konsep atau sikap, pengembangan keterampilan atau strategi belajar, atau hafalan. (Fleming, 1987; Fleming dan Levie, 1993).[6]
Fisher (1986: 365) mengingatkan bahwa pesan dalam model mekanistis ditransformasikan pada titik-titik (saat-saat) penyandian dan pengalihan sandi sehingga pesan itu sendiri berupa pikiran atau ide berada pada suatu tempat dalam system jaringan syaraf (neurophysiological), dan sumber atau penerima dan setelah penyandian terjadi dalam suatu situasi tatap muka, ditransformasikan fenomena energy fisik itu kembali kedalam kata petunjuk paralinguistic, isyarat dan pikiran. Namun dalam bentuk energy fisik antara sumber atau penerima, pesan itu bukanlah merupakan pikiran, bukan pula berupa kata-kata. Akan tetapi, ia merupakan seperangkat isyarat (signal) fisik.
Pesan adalah sesuatu yang dikirimmkan dan atau diterima sewaktu tindakan komunikasi berlangsung. Pesan dapat dikirimkan baik melalui bahasa verbal maupun nonverbal. Pesan juga merupakan suatu wujud informasi. Akan tetapi perlu disadari bahwa suatu pesan bias mempunyai makna yang berbeda bagi satu individu ke individu lain, karena pesan berkaitan erat dengan masalah penafsiran bagi penerimanya.
a)    Karakteristik Pesan
Pesan dalam media massa diupayakan agar khalayak akan tertarik apabila pesan mengandung unsur-unsur sebagai berikut.
1)    Novelty (sesuatu yang baru), dalam penerima pesan melalui audio visual seperti video, pendengar atau pemirsa akan tertarik apabila yang disajikan sesuatu yang baru, misalnya masalah proses reformasi yang baru saja berlangsung.
2)    Kedekatan atau proximity, dalam penerimaan pesan audio visual seperti televise, pendengar atau pemirsa akan lebih tertarik apabila disajikan suatu peristiwa yang dekat secara fisik dengan pengalamannya.
3)    Popularitas, pemberitaan seorang tokoh yang popular akan mempunyai daya tarik tersendiri bagi pendengar.
4)    Pertentangan (conflict), sesuatu yang mengungkapkan pertentangan, baik dalam bentuk kekerasan ataupun menyangkut perbedaan pendapat atau nila, biasanya disukai pendengar.
5)    Komedi (humor), hal-hal yang lucu dan menyenangkan akan lebih menarik untuk didengar sehingga tidak membosankan.
6)    Keindahan, menyenangi keindahan dan kecantikan adalah salah satu sifat manusia, sehingga siaran yang mengandung keindahan atau sangat disenangi.
7)    Emosi, sesuatu yang membangkitkan emosi dan menyentuh perasaan yang merupakan daya tarik tersendiri dalam pengemasan pesan.
8)    Nostalgia, nostalgia disini adalah hal-hal yang mengungkapkan pengalaman dimasa lalu, seperti nyanyian lama akan membangkitkan kenangan masa lalu, atau peristiwa bersejarah.
9)    Human interest, pada dasarnya orang akan menyukai tentang cerita-cerita yang menyangkut kehidupan orang lain (sendjaja:1993)
Ruben (1992) hanya menyebutkan lima unsur yang mempengaruhi pesan, yaitu origin, mode, physical character, organization, dan novelty. Memperhatikan tentang karakteristik isi pesan di atas, apakah isi pesan pendidikan (pembelajaran) dapat diramu berdasarkan hal-hal di atas? Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab, namun dapat disimpulkan pada dasarnya pesan pendidikan melalui radio atau televise dapat dikemas berdasarkan unsur-unsur tersebut. Khusus untuk program pendidikan yang bersifat pembelajaran (instructional) tidak semua unsur dapat digunakan, dan apabila akan memasukan unsur-unsur tersebut, kemasannya harus indah dan tidak vulgar.
Selain unsur-unsur isi pesan, struktur dan teknik penyajiannya sangat sangat menentukan keberhasilan pesan untuk diterima pendengar. Selanjutnya Sendjaja (1993) menyimpulkan bahwa bentuk dan teknik penyajian merupakan factor yang mempengaruhi keberhasilan upaya persuasi. Secara umum ada dua yang perlu diperhatikan, yaitu struktur pesan dan daya tarik pesan sendiri.
b)    Struktur Pesan
Struktur pesan mengacu kepada bagaimana mengorganisasi elemen-elemen pokok dalam sebuah pesan, yaitu sisi pesan (message sidedness), urutan penyajian (order of presentation), dan penarikan kesimpulan (drawing a conclusion).
1)    Sisi pesan terdiri atas dua bentuk penyusunan, yaitu satu sisi (one sided) dan dua sisi (two sided). Penyusunan pesan lebih banyak menitiberatkan pada kepentingan pihak pengirim saja, biasanya pesan yang ditonjolkan adalah aspek-aspek positif. Adapun dua sisi pesan disampaikan dengan segala kelemahan dan kekuatannya.
2)    Urutan penyajian berbentu climax versus anticlimax order dan recency and primacy model. Hal ini berkaitan dengan pesan satu sisi. Disebut climax order, bila dalam penyusunan pesan argument terpenting diletakan pada bagian akhir. Jika dicantumkan pada bagian awal disebut anticlimax order, dan bila ditempatkan ditengah-tengah disebut pyramidal order. Primacy, yaitu model bila dalam menyusun suatu pesan aspek positif dan negative ditempatkan pada bagian awal. Adapun recency bila aspek positif dan negative ditempatkan pada bagian akhir.
3)    Penarikan kesimpulan. Membuat suatu kesimpulan dapat secara merata langsung dan jelas (explisit) atau secara tidak langsung (implisit).

c)    Daya Tarik Pesan
Daya tarik pesan berkaitan dengan teknik penampilan dalam penyusunan suatu pesan, ide yang meliputi fear (threat) appeals, emotional appeals, rational appeals dan humor appeals. Fear (threat) appeals bila dalam menyajikan suatu pesan yang ditonjolkan unsur-unsur ancaman bahaya sehingga menimbulkan rasa takut, dan bila penekanan pesan pada hal-hal yang bersifat emosional seperti keindahan, kesedihan, kesengsaraan, cinta dan kasih saying. Rational appeals bila pesan tersebut menekankan pada hal-hal yang logis, rasional, dan factual. Humor appeals bila penyajian pesan dikemas dalam bentuk humor, bias saja dalam bentuk kata, kalimat, gambar, symbol, atau yang lainnyayang bias menimbulkan kesan lucu.[7]

3.    Desain Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran adalah spesifikasi untuk menyeleksi serta mengurutkan peristiwa belajar atau kegiatan pembelajaran dalam suatu pelajaran. Penelitian dalam strategi pembelajaran telah memberikan kontribusi terhadap pengetahuan tentang komponen pembelajaran. Seorang desainer menggunakan teori atau komponen strategi pembelajaran sebagai prinsip pembelajaran. Secara khas, strategi pembelajaran berinteraksi dengan situasi belajar. Situasi-situasi belajar ini sering dinyatakan dalam model-model pembelajaran. Model pembelajaran maupun strategi pembelajaran yang diperlukan untuk mengaplikasikannya berbeda-beda tergantung pada situasi belajar. Situasi-situasi belajar situasi-situasi belajar ini sering dinyatakan dalam model-model pembelajaran. Model pembelajaran maupun strategi pembelajaran yang diperlukan untuk mengaplikasikannya berbeda-beda tergantung pada situasi belajar, sifat materi dan jenis belajar yang diinginkan (Joyce dan Weil, 1972; Merrill, Tennyson, dan Posey, 1992; Reigelith, 1978a). Teori tentang strategi pembelajaran meliputi situasi belajar, seperti belajar induktif, serta komponen dari proses belajar atau mengajar, seperti motivasi dan elaborasi (Reigeluth, 1978b).
           Reigeluth (1983a) membedakan antara strategi mikro dan makro:
a)    Variable strategi mikro adalah metode dasar untuk mengorganisasikan pembelajaran dalam suatu gagasan tunggal (yaitu sebuah konsep, prinsip yang tunggal dan sebagainya). Hal tersebut mencakup komponen strategi seperti definisi, contoh, latihan dan bentuk sajian lainnya.
b)    Variable strategi makro adalah metode dasar untuk mengorganisasikan aspek-aspek pembelajaran yang berhubungan dengan gagasan lebih dari satu, seperti mengurutkan, membuat sintesa, dan membuat ringkasan (memporeview dan mereview) gagasan-gagasan yang diajarkan (h.19).

4.  Karakteristik Pembelajaran
Karakteristik pembelajaran adalah segi-segi latar belakang pengalaman belajar yang berpengaruh terhadap efektifitas proses belajarnya. Penelitian mengenai karakteristik pembelajaran sering tumpang tindih dengan penelitian strategi belajar, akan tetapi hal itu dilakukan dengan tujuan yang berbeda yaitu untuk menjelaskan segi-segi latar belakang pembelajaran yang perlu diperhatikan dalam desain. Lingkup karakteristik pembelajaran menggunakan penelitian tentang motivasi untuk mengidentifikasi varuabel-variabel yang diperhitungkan dan untuk menentukan bagaimana caranya hal-hal tersebut harus diperhitungkan. Oleh sebab itu karakteristik pembelajaran mempengaruhi komponen pembelajaran yang diteliti dalam ruang lingkup strategi pembelajaran.[8]




















BAB III
PENUTUP

Dapat disimpulkan bahwa kawasan desain teknologi pendidikan merupakan proses untuk menentukan kondisi belajar dengan menggunakan teknologi yang diterapkan dalam memecahkan masalah pendidikan atau pembelajaran dengan memperhatikan dan mengemas pembelajaran secara apik dengan mendesain pesan, strategi pembelajaran yang akan dilaksanakan serta mengetahuahi karakteristik pembelajaran setiap siswa baik dalam pelajaran umum ataupun agama.















DAFTAR PUSTAKA

Rita, Barbara, Teknologi Pembelajaran, Jakarta: Unit percetakan Universitas Negeri Jakarta, 1994.
Uno, Hamzah B, Perencanaan Pembelajaran,  Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011.



[1] Barbara rita, Teknologi Pembelajaran, (Jakarta: Unit percetakan Universitas Negeri Jakarta, 1994), hlm. 32
[2] Ibid, hlm. 32
[3] Hamzah B Uno, Perencanaan Pembelajaran, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), hlm. 51
[4] Ibid, hlm. 33
[5] Ibid, hlm. 52
[6] Ibid, hlm. 34
[7] Ibid, hlm. 55
[8] Ibid, hlm. 35

PENDIDIK



BAB I
PENDAHULUAN
Dalam melaksanakan pendidikan Islam, peranan pendidik sangat penting artinya dalam proses pendidikan, karena dia yang bertanggung jawab dan menentukan arah pendidikan tersebut. Itukah sebabnya islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan yang bertugas sebagai pendidik, karena memiliki ilmu pengetahuan untuk melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Pendidik mempunyai tugas yang mulia, sehingga islam memandang pendidik mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pada orang-orang yang tidak berilmu dan orang-orang yang bukan sebagai pendidik. Tetapi disamping itu orang-orang yang berilmu tidak boleh menyembunyikan atau menyimpan ilmu-ilmu yang dimilikinya itu untuk dirinya sendiri, melainkan memberikan dan menolong orang lain yang tidak berilmu sehingga menjadi berilmu.[1]
Penghormatan dan penghargaan Islam terhadap orang-orang yang berilmu itu terbukti didalam Al-Qur’an surat Al-Mujadalah ayat 11yang berbunyi:
Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 
Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Pada makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian dan hakikat pendidik, syarat menjadi seorang pendidik, tugas pendidik.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendidik
Pendidik secara pedagogis yaitu:
1.      Secara adi kodrati pendidik adalah orang tua peserta didik masing-masing. Jadi jika orang tua yang membuang anak kandungnya maka beliau tidak berperan sebagai pendidik. Berbeda dengan orang tua yang berperan sebaik mungkin dengan segala keterbatasannya selalu mengarahkan anaknya, berhubung semakin lama semakin dibutuhkan pendidikan yang lebih tinggi maka menyerahkan kelembaga pendidikan. Maka pendidik sejati itu adalah orang tuanya sendiri.
2.      Pendidik lain ialah orang yang diserahi tugas pendidik peserta didik, misalnya lembaga pendidikan formal maupun non formal.[2]
Dalam hal ini, pendidik disebut juga dengan guru, merupakan unsur manusiawi dalam pendidikan. Guru adalah figur manusia yang diharapkan kehadiran dan perannya dalam pendidikan, sebagai sumber yang menempati posisi dan memegang peranan penting dunia pendidikan.
Di sekolah guru hadir untuk mengabdikan diri kepada anak didik. Guru dan anak didik adalah sebagi dwitunggal. Kemuliaan guru tercermin pada pengabdiannya kepada anak didik dalam interaksi edukatif disekolah dan luar sekolah.disekolah guru adalah orang tua kedua bagi anak didik. Sebagai orang tua, guru harus menganggapnya sebagai anak didik, bukan menganggapnya sebagi peserta didik.[3]

B.     Ciri-ciri Pendidik
Agar proses pendidikan dapat berjalan baik dan lancer maka seorang pendidik memiliki ciri-ciri utama yaitu memiliki wibawa atau kewibawaan. Kewibawaan yaitu pengaruh positif normative yang diberikan kepada orang lain atau anak didik dengan tujuan agar yang bersangkutan dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Jadi kewibawaan tersebut mengandung unsur-unsur:
1.      Adanya pengaruh positif normative misalnya, pendidik mengajak peserta didik (secara formal) untuk tepat pada waktunya, maka pendidik juga harus dating tepat waktu berarti menimbulkan kedisiplinan.
2.      Bertujuan sebagai pendidikan juga harus mengetahui yang akan dituju didalam proses pendidikan.
3.      Penerima pengaruh dari orang lain atau peserta didik.
4.      Pengembangan pendidik harus selalu mengembangkan diri seoptimal mungkin.
Kewibawaan yang ditimbulkan pendidik berjalan dengan sendirinya yang secara langsung ataupun tidak langsung peserta didik akan mengidentifikasika dengan pendidikan yang akhirnya terjadi kontak yang baik sehingga menimbulkan perasaan aman dan percaya. Apabila kedua rasa di atas terjadi maka adanya segala apa yang dikatakan oleh pendidik akan dipatuhi, baik itu dilakukan oleh orang tua sejati atau seorang guru.
Ciri kedua menjadi seorang pendidik yaitu harus mengenal secara pribadi anak/peserta didik yang secara otomatis hafal nama anak didiknya.
Ciri yang ketiga, pendidik harus mau membantu peserta didik dalam arti peserta didik harus terus menerus dibantu melainkan pendidik harus mengetahui bahwa anak didik atau peserta didik adalah “aku” yang berpribadi dan ingin bertanggung jawab dan ingin menentukan diri sendiri.[4]
C.     Syarat Menjadi Seorang Pendidik
Seorang guru harus mengetahui tujuan pendidikan yang dianut oleh suatu negaranya, kalau di Indonesia pendidik harus mengetahui tujuan pendidikan nasional.
Dilihat dari ilmu pendidikan Islam, maka secara umum untuk menjadi seorang guru yang baik dan diperkirakan dapat memenuhi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya hendaknya bertakwa kepada Allah, berilmu sehat jasmani, berakhlakul karimah, bertanggung jawab dan berjiwa nasional.
1.      Takwa kepada Allah
Guru, sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan islam, tidak mungkin mendidik anak agar bertakwa kepada Allah jika ia sendiri tidak bertakwa kepadaNya. Sebab ia adalah teladan bagi muridnya, sebagaimana Rasulullah SAW menjadi telan bagi umatnya.
2.      Berilmu
Seorang guru harus memiliki ilmu yang tinggi dan berpendidikan tinggi, karena guru yang berkualotas aan menghasilkan siswa yang berkualitas pula.
3.      Sehat Jasmani
Kesehatan jasmani kerap kali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi guru. Guru yang mengidap penyakit menular umpamanya sangat membahayakan kesehatan anak-anak. Disamping itu, guru yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar, seperti dalam ucapan “Mens sana in corpore sano yang artinya di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
4.      Berakhlakul Karimah
Budi pekerti guru sangat penting dalam pendidikan watak murid. Guru harus menjadi suri tauladan, karena anak-anak bersifat meniru. Diantara tujuan pendidikan adalah membentuk akhlakul karimah pada anak dan hanya mungkin jika guru itu berakhak baik pula. Yang dimaksud dengan akhlak baik dalam ilmu pendidikan islam adalah akhlak yang sesuai dengan ajaran islam, seperti yang dicontohkan oleh pendidik utama, Muhmmad SAW. Di antara akhlak guru adalah:
a.       Mencintai jabatannya sebagai guru
Dalam keadaan bagaimanapun seorang guru harus berusaha mencintai pekerjaannya. Dan pada umumnya kecintaan terhadap pekerjaan guru akan bertambah besar apabila dihayati benar-benar keindahan dan kemuliaan tugas itu. Yang paling baik adalah apabila seseorang menjadi guru karena didorong oleh panggilan jiwa.
b.      Bersikap adil terhadap semua muridnya
Guru harus dapat bersikap adil atau memperlakukan mereka sama, anta siswa yang kaya dan tidak, yang pintar dan tidak dan lain-lain.
c.       Berlaku sabar dan tenang
Kerapkali dalam pembelajaran seorang siswa tidak memahami apa yang dismapaikan guru sehingga menjadi pendian atau bias saja membuat keributan, dalam hal ini, guru harus tetap sabar, tenang dan tabah sambil berusaha mengkaji masalahnya dengan tenang, sebab mungkin saja kesalahan terletak pada dirinya yang kurang simpatik atau cara mengajarnya yang kurang terampil bahkan mungkin bahan pelajarannya yang belum dikuasai guru.
d.      Guru harus berwibawa
Guru yang berwibawa adalah guru yang mampu menguasai anak-anak seluruhnya baik dalam kegiatan pembelajaran ataupun diluar kelas.
e.       Guru harus gembira
Guru yang gembira memiliki sifat humor, suka tertawa dan suka memberi kesempatan tertawa kepada anak-anak. Dengan senyumannya ia memikat hati anak-anak. Sebab apabila pelajaran diselingi humor, gelak dan tawa, niscaya jam pelajaran terasa pendek dan tidak membosankan. Guru yang gembira biasanya tidak lekas kecewa, ia mengerti bahwa anak-anak tidak bodoh, tetapi belum tahu. Dengan gembira ia mencoba menerangkan pelajaran sampai anak itu memahaminya.
f.       Guru harus bersifat manusiawi
Guru adalah manusia yang tak lepas dari kekurangan dan cacat. Ia bukan manusia sempurna. Oleh karena itu ia harus berani melihat kekurangan-kekurangannya sendiri dan segera memperbaikinya. Dengan demikian pandangannya tidak picik terhadap kelakuan manusia umumnya dan anak-anak khususnya. Ia dapat melihat perbuatan yang salah menurut ukuran sebenarnya. Ia memberi hukuman yang adil dan suka memaafkan apabila anak khilaf akan kesalahannya.
g.      Bekerja sama dengan guru-guru lain
Guru harus saling bekerja sama dengan guru lain dalam menentukan peraturan apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak di pebolehkan atau dilarang agar anak-anak tidak merasa bingung.
Kepala sekolah harus mengabdi kepada guru-guru, yang artinya ia harus mengurus dan siap sedia memperjuangkan kepentingan guru-guru lainnya.
h.      Bekerja sama dengan masyarakat
Guru harus memiliki pandangan luas. Guru harus mampu berinteraksi dengan masyarakat secara aktif, supaya sekolah tidak terpencil dan di kenal di masyarakat sehingga masyarak akan memberi kepercayaannya untuk menyekolahkan anaknya disekolah tersebut.[5]
Al Qalqasyandi seorang pendidik Islam pada Zaman Khalifah Fatimiyah di Mesir mengajukan beberapa syarat bagi seorang pendidik Islam sebagai berikut:
1.      Syarat fisik, meliputi:
a.       Bagus badannya
b.      Manis muka/berseri-seri
c.       Lebar dahinya
d.      Dahinya terbuka dari rambutnya
2.      Syarat psikis, meliputi:
a.       Berakal (sehat akalnya)
b.      Tajam pemahamannya
c.       Hatinya beradab
d.      Adil
e.       Bersifat perwira
f.       Lurus dada
g.      Bila berbicara artinya lebih dahulu terbayang dalam hatinya
h.      Perkataannya jelas, dan mudah dipahami dan berhubungan dengan yang lain
i.        Dapat memilih perkataan yang mulia dan baik
j.        Menjauhi sesuatu yang membawa kepada perkataan yang tak jelas.[6]

D.    Tugas Pendidik
Beberapa tugas pendidik, yaitu:
1.      Membimbing anak didik
Mencari pengenalan terhadapnya mengenai kebutuhan kesanggupan, bakat, minat, dan sebagainya.
2.      Menciptakan situasi untuk pendidikan
Situasi pendidikan, yaitu suatu keadaan yang menyebabkan tindakan-tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan hasil yang memuaskan.
3.      Memiliki pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan.
Pengetahuan keagamaan dan lainnya, pengetahuan ini tidak hanya sekedar diketahui, akan tetapi juga di amalkan dan diyakininya sendiri. Kedudukan pendidik sebagai pihak yang lebih dalam situasi pendidikan harus pula diingat bahwa pendidik adalah manusia biasa dengan sifat-sifatnya yang tidak sempurna. Oleh karena itu menjadi tugas pula bagi sipendidik untuk selalu meninjau diri sendiri.[7]

E.     Peran Sosial seorang Pendidik
Jika kita didalam memandang berorientasi pada pendidik sejati yaitu orang tua, maka peranan sosialnya bahwa suami istri itu otomatis bertanggung jawab atas keselamatan dan kebahagiaan anak-anaknya, dikarenakan anak tidak mampu mengurus diri dan mengembangkan dirinya. Orang tua bertugas membantu kedua hal tersebut, peranan sosial membantu itulah disebut mendidik, karena itu orang tua adalah pendidik.
Berbeda dengan guru, peranan sosialnya sebagai pendidik karena melakukan tugas dari orang tua atau keluarga. Atau dengan kata lain pendidik itu adalah orang tua kedua setelah orang tuanya sendiri. Karena berfungsi sebagai pendidik, maka guru melaksanakan tugasnya secara professional.[8]



















BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidik itu ada dua; pertama, orang tua dan kedua, guru atau orang yang diamanati untuk memberikan pendidikan baik di sekolah formal maupun non formal. Seorang guru harus berwibawa dan memiliki sifat yang berakhlakul mulia, adil dan berpenampilan menarik serta humoris agar anak didik lebih tertarik dan termotivasi untuk belajar dan menuntut ilmu.
Guru juga harus memahami tujuan pendidikan di lembaga sekolahnya ataupun negaranya, agar dapat melaksanakan tugasnya secara professional sehingga dapat menjcapai tujuan tersebut.
Orang tua melimiliki peran utuk mendidik di internal atau keluarganya dari sejak lahir sampai dewasa, karena itu salah satu penentu akhlak seorang anak didik nantinya, dan guru adalah orang tua kedua, atau pendidik kedua di lingkungan sekolah yang mana guru merupakan suri tauladan bagi anak didiknya.











DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001.
Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.











[1] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 168
[2] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), hlm. 47
[3] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hlm.59
[4] Ibid, hlm. 49
[5] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), hlm. 44
[6] Ibid, hlm. 170
[7] Ibid, hlm. 70
[8] Abu Hnafi dan Nur Uhbiyati, Op Cit, hlm. 48