BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam
melaksanakan pendidikan Islam, peranan pendidik sangat penting artinya dalam
proses pendidikan, karena dia yang bertanggung jawab dan menentukan arah
pendidikan tersebut. Itukah sebabnya islam sangat menghargai dan menghormati
orang-orang yang berilmu pengetahuan yang bertugas sebagai pendidik, karena
memiliki ilmu pengetahuan untuk melaksanakan tugasnya sebagai pendidik.
Pendidik mempunyai tugas yang mulia, sehingga islam memandang pendidik mempunyai
derajat yang lebih tinggi dari pada orang-orang yang tidak berilmu dan
orang-orang yang bukan sebagai pendidik. Tetapi disamping itu orang-orang yang
berilmu tidak boleh menyembunyikan atau menyimpan ilmu-ilmu yang dimilikinya
itu untuk dirinya sendiri, melainkan memberikan dan menolong orang lain yang
tidak berilmu sehingga menjadi berilmu.[1]
Penghormatan
dan penghargaan Islam terhadap orang-orang yang berilmu itu terbukti didalam
Al-Qur’an surat Al-Mujadalah ayat 11yang berbunyi:
Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4
Artinya: “Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan”
Pada makalah ini
akan dijelaskan tentang pengertian dan hakikat pendidik, syarat menjadi seorang
pendidik, tugas pendidik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendidik
Pendidik
secara pedagogis yaitu:
1. Secara
adi kodrati pendidik adalah orang tua peserta didik masing-masing. Jadi jika
orang tua yang membuang anak kandungnya maka beliau tidak berperan sebagai
pendidik. Berbeda dengan orang tua yang berperan sebaik mungkin dengan segala
keterbatasannya selalu mengarahkan anaknya, berhubung semakin lama semakin
dibutuhkan pendidikan yang lebih tinggi maka menyerahkan kelembaga pendidikan.
Maka pendidik sejati itu adalah orang tuanya sendiri.
2. Pendidik
lain ialah orang yang diserahi tugas pendidik peserta didik, misalnya lembaga
pendidikan formal maupun non formal.[2]
Dalam hal ini, pendidik disebut juga dengan guru,
merupakan unsur manusiawi dalam pendidikan. Guru adalah figur manusia yang
diharapkan kehadiran dan perannya dalam pendidikan, sebagai sumber yang
menempati posisi dan memegang peranan penting dunia pendidikan.
Di sekolah guru hadir untuk mengabdikan diri kepada
anak didik. Guru dan anak didik adalah sebagi dwitunggal. Kemuliaan guru
tercermin pada pengabdiannya kepada anak didik dalam interaksi edukatif
disekolah dan luar sekolah.disekolah guru adalah orang tua kedua bagi anak
didik. Sebagai orang tua, guru harus menganggapnya sebagai anak didik, bukan
menganggapnya sebagi peserta didik.[3]
B. Ciri-ciri
Pendidik
Agar proses pendidikan dapat berjalan baik dan
lancer maka seorang pendidik memiliki ciri-ciri utama yaitu memiliki wibawa
atau kewibawaan. Kewibawaan yaitu pengaruh positif normative yang diberikan
kepada orang lain atau anak didik dengan tujuan agar yang bersangkutan dapat
mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Jadi kewibawaan tersebut mengandung
unsur-unsur:
1. Adanya
pengaruh positif normative misalnya, pendidik mengajak peserta didik (secara
formal) untuk tepat pada waktunya, maka pendidik juga harus dating tepat waktu
berarti menimbulkan kedisiplinan.
2. Bertujuan
sebagai pendidikan juga harus mengetahui yang akan dituju didalam proses
pendidikan.
3. Penerima
pengaruh dari orang lain atau peserta didik.
4. Pengembangan
pendidik harus selalu mengembangkan diri seoptimal mungkin.
Kewibawaan yang ditimbulkan pendidik berjalan dengan
sendirinya yang secara langsung ataupun tidak langsung peserta didik akan
mengidentifikasika dengan pendidikan yang akhirnya terjadi kontak yang baik
sehingga menimbulkan perasaan aman dan percaya. Apabila kedua rasa di atas
terjadi maka adanya segala apa yang dikatakan oleh pendidik akan dipatuhi, baik
itu dilakukan oleh orang tua sejati atau seorang guru.
Ciri kedua menjadi seorang pendidik yaitu harus
mengenal secara pribadi anak/peserta didik yang secara otomatis hafal nama anak
didiknya.
Ciri yang ketiga, pendidik harus mau membantu
peserta didik dalam arti peserta didik harus terus menerus dibantu melainkan
pendidik harus mengetahui bahwa anak didik atau peserta didik adalah “aku” yang
berpribadi dan ingin bertanggung jawab dan ingin menentukan diri sendiri.[4]
C. Syarat
Menjadi Seorang Pendidik
Seorang guru harus mengetahui tujuan pendidikan yang
dianut oleh suatu negaranya, kalau di Indonesia pendidik harus mengetahui
tujuan pendidikan nasional.
Dilihat dari ilmu pendidikan Islam, maka secara umum
untuk menjadi seorang guru yang baik dan diperkirakan dapat memenuhi tanggung
jawab yang dibebankan kepadanya hendaknya bertakwa kepada Allah, berilmu sehat
jasmani, berakhlakul karimah, bertanggung jawab dan berjiwa nasional.
1. Takwa
kepada Allah
Guru, sesuai dengan
tujuan ilmu pendidikan islam, tidak mungkin mendidik anak agar bertakwa kepada
Allah jika ia sendiri tidak bertakwa kepadaNya. Sebab ia adalah teladan bagi
muridnya, sebagaimana Rasulullah SAW menjadi telan bagi umatnya.
2. Berilmu
Seorang guru harus
memiliki ilmu yang tinggi dan berpendidikan tinggi, karena guru yang
berkualotas aan menghasilkan siswa yang berkualitas pula.
3. Sehat
Jasmani
Kesehatan jasmani kerap
kali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi guru.
Guru yang mengidap penyakit menular umpamanya sangat membahayakan kesehatan
anak-anak. Disamping itu, guru yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar,
seperti dalam ucapan “Mens sana in
corpore sano” yang artinya di dalam
tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
4. Berakhlakul
Karimah
Budi pekerti guru
sangat penting dalam pendidikan watak murid. Guru harus menjadi suri tauladan,
karena anak-anak bersifat meniru. Diantara tujuan pendidikan adalah membentuk
akhlakul karimah pada anak dan hanya mungkin jika guru itu berakhak baik pula.
Yang dimaksud dengan akhlak baik dalam ilmu pendidikan islam adalah akhlak yang
sesuai dengan ajaran islam, seperti yang dicontohkan oleh pendidik utama,
Muhmmad SAW. Di antara akhlak guru adalah:
a. Mencintai
jabatannya sebagai guru
Dalam keadaan
bagaimanapun seorang guru harus berusaha mencintai pekerjaannya. Dan pada
umumnya kecintaan terhadap pekerjaan guru akan bertambah besar apabila dihayati
benar-benar keindahan dan kemuliaan tugas itu. Yang paling baik adalah apabila
seseorang menjadi guru karena didorong oleh panggilan jiwa.
b. Bersikap
adil terhadap semua muridnya
Guru harus dapat
bersikap adil atau memperlakukan mereka sama, anta siswa yang kaya dan tidak,
yang pintar dan tidak dan lain-lain.
c. Berlaku
sabar dan tenang
Kerapkali dalam
pembelajaran seorang siswa tidak memahami apa yang dismapaikan guru sehingga
menjadi pendian atau bias saja membuat keributan, dalam hal ini, guru harus
tetap sabar, tenang dan tabah sambil berusaha mengkaji masalahnya dengan tenang,
sebab mungkin saja kesalahan terletak pada dirinya yang kurang simpatik atau
cara mengajarnya yang kurang terampil bahkan mungkin bahan pelajarannya yang
belum dikuasai guru.
d. Guru
harus berwibawa
Guru yang berwibawa
adalah guru yang mampu menguasai anak-anak seluruhnya baik dalam kegiatan
pembelajaran ataupun diluar kelas.
e. Guru
harus gembira
Guru yang gembira
memiliki sifat humor, suka tertawa dan suka memberi kesempatan tertawa kepada
anak-anak. Dengan senyumannya ia memikat hati anak-anak. Sebab apabila
pelajaran diselingi humor, gelak dan tawa, niscaya jam pelajaran terasa pendek
dan tidak membosankan. Guru yang gembira biasanya tidak lekas kecewa, ia
mengerti bahwa anak-anak tidak bodoh, tetapi belum tahu. Dengan gembira ia
mencoba menerangkan pelajaran sampai anak itu memahaminya.
f. Guru
harus bersifat manusiawi
Guru adalah manusia
yang tak lepas dari kekurangan dan cacat. Ia bukan manusia sempurna. Oleh
karena itu ia harus berani melihat kekurangan-kekurangannya sendiri dan segera
memperbaikinya. Dengan demikian pandangannya tidak picik terhadap kelakuan
manusia umumnya dan anak-anak khususnya. Ia dapat melihat perbuatan yang salah
menurut ukuran sebenarnya. Ia memberi hukuman yang adil dan suka memaafkan
apabila anak khilaf akan kesalahannya.
g. Bekerja
sama dengan guru-guru lain
Guru harus saling
bekerja sama dengan guru lain dalam menentukan peraturan apa yang diperbolehkan
dan apa yang tidak di pebolehkan atau dilarang agar anak-anak tidak merasa
bingung.
Kepala sekolah harus
mengabdi kepada guru-guru, yang artinya ia harus mengurus dan siap sedia
memperjuangkan kepentingan guru-guru lainnya.
h. Bekerja
sama dengan masyarakat
Guru harus memiliki pandangan luas.
Guru harus mampu berinteraksi dengan masyarakat secara aktif, supaya sekolah
tidak terpencil dan di kenal di masyarakat sehingga masyarak akan memberi
kepercayaannya untuk menyekolahkan anaknya disekolah tersebut.[5]
Al Qalqasyandi seorang pendidik Islam pada Zaman
Khalifah Fatimiyah di Mesir mengajukan beberapa syarat bagi seorang pendidik
Islam sebagai berikut:
1. Syarat
fisik, meliputi:
a. Bagus
badannya
b. Manis
muka/berseri-seri
c. Lebar
dahinya
d. Dahinya
terbuka dari rambutnya
2. Syarat
psikis, meliputi:
a. Berakal
(sehat akalnya)
b. Tajam
pemahamannya
c. Hatinya
beradab
d. Adil
e. Bersifat
perwira
f. Lurus
dada
g. Bila
berbicara artinya lebih dahulu terbayang dalam hatinya
h. Perkataannya
jelas, dan mudah dipahami dan berhubungan dengan yang lain
i.
Dapat memilih
perkataan yang mulia dan baik
j.
Menjauhi sesuatu
yang membawa kepada perkataan yang tak jelas.[6]
D. Tugas
Pendidik
Beberapa
tugas pendidik, yaitu:
1. Membimbing
anak didik
Mencari pengenalan
terhadapnya mengenai kebutuhan kesanggupan, bakat, minat, dan sebagainya.
2. Menciptakan
situasi untuk pendidikan
Situasi pendidikan,
yaitu suatu keadaan yang menyebabkan tindakan-tindakan pendidikan dapat
berlangsung dengan baik dan hasil yang memuaskan.
3. Memiliki
pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan.
Pengetahuan keagamaan
dan lainnya, pengetahuan ini tidak hanya sekedar diketahui, akan tetapi juga di
amalkan dan diyakininya sendiri. Kedudukan pendidik sebagai pihak yang lebih
dalam situasi pendidikan harus pula diingat bahwa pendidik adalah manusia biasa
dengan sifat-sifatnya yang tidak sempurna. Oleh karena itu menjadi tugas pula
bagi sipendidik untuk selalu meninjau diri sendiri.[7]
E. Peran
Sosial seorang Pendidik
Jika kita didalam memandang berorientasi pada
pendidik sejati yaitu orang tua, maka peranan sosialnya bahwa suami istri itu
otomatis bertanggung jawab atas keselamatan dan kebahagiaan anak-anaknya,
dikarenakan anak tidak mampu mengurus diri dan mengembangkan dirinya. Orang tua
bertugas membantu kedua hal tersebut, peranan sosial membantu itulah disebut
mendidik, karena itu orang tua adalah pendidik.
Berbeda dengan guru, peranan sosialnya sebagai
pendidik karena melakukan tugas dari orang tua atau keluarga. Atau dengan kata
lain pendidik itu adalah orang tua kedua setelah orang tuanya sendiri. Karena
berfungsi sebagai pendidik, maka guru melaksanakan tugasnya secara
professional.[8]
BAB
III
PENUTUP
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidik itu ada dua; pertama, orang tua dan kedua, guru atau orang yang diamanati untuk
memberikan pendidikan baik di sekolah formal maupun non formal. Seorang guru
harus berwibawa dan memiliki sifat yang berakhlakul mulia, adil dan
berpenampilan menarik serta humoris agar anak didik lebih tertarik dan
termotivasi untuk belajar dan menuntut ilmu.
Guru
juga harus memahami tujuan pendidikan di lembaga sekolahnya ataupun negaranya,
agar dapat melaksanakan tugasnya secara professional sehingga dapat menjcapai
tujuan tersebut.
Orang
tua melimiliki peran utuk mendidik di internal atau keluarganya dari sejak
lahir sampai dewasa, karena itu salah satu penentu akhlak seorang anak didik
nantinya, dan guru adalah orang tua kedua, atau pendidik kedua di lingkungan
sekolah yang mana guru merupakan suri tauladan bagi anak didiknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Nur
Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2001.
Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2009
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2011.
Zuhairini,
Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 2009.
[1]
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2009), hlm. 168
[2] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2001), hlm. 47
[3] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2009), hlm.59
[5] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2011), hlm. 44
[6] Ibid, hlm. 170
[7] Ibid, hlm. 70
[8] Abu Hnafi dan Nur Uhbiyati, Op Cit, hlm. 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar